GNPK RI Jabar Sebut Tindak Pidana Korupsi Sebagai Patologi Sosial

0

Nana S Hadiwinata Ketua GNPK RI Jabar/ tumang.id

Jakarta Barat, tumang.id – Penegakan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu.

Akan tetapi, pemahaman yang mendalam dan lebih fundamental juga diperlukan, agar menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tak mengulang dan membudayakan korupsi dalam berbagai aspek kehidupan kita.

Meminjam kata “patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu” dengan kondisi semakin masifnya korupsi di Indonesia sel kanker ganas, karena akarnya yang telah meluas, maka semakin dibabat semakin cepat penyebarannya.

Dipenghujung tahun 2020, usai operasi senyap, KPK berhasil membuat empat pejabat negara terpaksa mengenakan rompi oranye dalam kurun waktu tak sampai 2 pekan.

KPK berhasil melakukan OTT dua menteri Kabinet Indonesia Maju dan dua kepala daerah, mereka berempat harus menjadi pesakitan mempertanggungjawabkan dugaan perbuatan rasuah yang mereka lakukan.

Dimulai dari operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada tanggal 25 November, dilanjutkan OTT terhadap Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna beberapa hari setelahnya.

Pada tanggal 3 Desember 2020, KPK melanjutkan tugas penindakan dengan menangkap tangan Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo.

Teranyar, pada tanggal 6 Desember KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari P. Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan paket bantuan sosial untuk penanganan Covid-19.

Secara keseluruhan, KPK telah melakukan penangkapan berujung penetapan tersangka terhadap tujuh pejabat sepanjang 2020.

Tiga lainnya, yakni Bupati Sidoarjo Saiful Ilah yang terkena OTT pada tanggal 7 Januari, anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan yang ditangkap pada tanggal 8 Januari, dan Bupati Kutai Timur Ismunandar yang terjaring OTT pada tanggal 2 Juli.

NS Hadiwinata selaku Ketua GNPK RI Jabar berpandangan masalah kesehatan jiwa banyak berkaitan dengan sejarah politik suatu bangsa.

“Apa yang selama ini disebut sebagai krisis multidimensional sebenarnya bertolak pada krisis kesehatan jiwa bangsa, yang harus ditelusuri akarnya dari perjalanan sejarah bangsa ini.” Tegas NS Hadiwinata. Sabtu (02/01/21).

Lanjut Nana, “Budaya korupsi, jalan pintas, manipulasi dan tidak ada rasa malu, serta korupsi menimbulkan konflik horisontal, adalah manifestasi adanya gangguan kesehatan jiwa para pelaku koruptor yang selama ini nyaris dianggap biasa oleh kebanyakan orang, termasuk para birokrat.”

“Perilaku korupsi oleh para pejabat, pegawai, bahkan sampai pada Pamong Desa pun dari jaman Indonesia belum merdeka hingga saat ini masih terus terjadi dan bahkan semakin menjamur di Indonesia.” Singgung Nana.

Nana menegaskan “Korupsi merupakan perilaku dan mungkin sudah menjadi tradisi yang mendarah-daging dan berkembang biak di setiap sektor kehidupan masyarakat di Indonesia.”

GNPK RI Jabar menilai tindak pidana korupsi hampir semua terjadi di lembaga negeri maupun swasta, mulai dari pejabat paling rendah di tingkat Kelurahan sampai di tingkat yang paling tinggi yakni Lembaga Eksekutif dan Legislatif Negara.

Diperparah, hingga masyarakat umum pun jadi ikutikutan berperilaku yang bisa dikatakan termasuk kategori korupsi, misalnya penjual di pasar tradisional yang sering mengurangi atau berbuat curang dalam menggunakan timbangan/neraca barang dagangan.

Akibat korupsi yang berkepanjangan dan terus terjadi, mendera bertubi-tubi, sehingga menumpulkan kecerdasan, sehingga menimbulkan hasrat selalu ingin mencari jalan pintas.

Sebagian dari mereka yang berprilaku korupatif percaya bahwa probabilitas tertangkap oleh KPK masih jauh lebih kecil dibandingkan peluang keberhasilan melipatgandakan kekayaan.

Inilah hal mendasar mengapa korupsi para pejabat di Republik ini selalu saja muncul dan sulit diberantas.

Sehingga itulah kenapa mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK sejauh ini.

Pembina GNPK RI Jabar Prof. Dr. Makhmud Syafi’i, M. Ag dalam pendangannya menyampaikan “Kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari kelompok yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru.”

“Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, penguasa, dan para tokoh masyarakat,” Lanjut Prof. Makhmud.

“Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena hanya dipakai para elite untuk membodohi masyarakat saja.” Terang Prof. Makhmud.

Sebaliknya, masyarakat menjadi lebih percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga perdukunan dan perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana.

Mereka memuja dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan.

Korupsi lalu menjadi budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh kekayaan dengan mudah dan cepat.

Jika sudah sampai pada tahap ini, maka perilaku korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku patologis.

Dan patologis yang bersifat sosial karena korupsi dapat menimbulkan efek domino (mudahnya perilaku ini menular) dan menyebabkan terjadinya perilaku-perilaku negatif yang lain.

Irjen Pol. (Purn) Dr. Anton Charliyan MPKN, mantan Kapolda Jabar yang juga Pembina GNPK RI Jabar pun memberikan pandangan bahwa “Permasalahan korupsi di Indonesia merupakan masalah yang kompleks. Karena itu pemberantasan praktek korupsi ini harus dilakukan secara menyeluruh dengan memahami persoalannya secara komprehensif melalui faktor penyebab dan menganalisa akibatnya.”

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah Faktor Apakah yang menyebabkan individu melakukan korupsi? Bagaimana perilaku korupsi menular dan menjangkiti individu di setiap elemen masyarakat? Yang kemudian menjadi penyakit patologis sosial.

Faktor-faktor patologis apa yang berkaitan dengan perilaku korupsi?Bagaimana dampak serta penanggulangan terhadap perilaku korupsi di Indonesia?

Abah Anton Charliyan sapaan akrabnya menyampaikan “Dalam konteks psiko-sosial, hobi korupsi disebabkan oleh banyak hal antara lain; reposisi kemiskinan yang berakibat pada ketamakan luar biasa, pandangan martabat diri artifisial (tidak hakiki) yang didasari oleh pola pikir materialistik, dan lain-lain.”

“Yang pada gilirannya mengarah pada ketidakpedulian atas akibat perbuatan terkutuknya pada nasib negara, bangsa dan individu rakyat secara keseluruhan.” Tegas Abah Anton Charliyan.

GNPK RI Jabar mengidentifikasi penyebab menjadi penyubur budaya korupsi di masyarakat adalah sebuah pathology sosial yang telah amat sangat akut, yaitu budaya koruptif, jalan pintas, materialistis berlebihan hingga menempuh jalan-jalan instan yang berbahaya, budaya memanipulasi dan budaya permisif dalam amanah.

Semakin memperparah korupsi sebagai pathology sosial itu, karena masyarakat menilai hukuman bagi para koruptor itu sangatlah ringan miliaran sampai dengan triliunan hanya beberapa tahun saja, bahkan kasus BLBI yang merugikan negara hingga 600-an triliunan dan hingga kini masih terasa efeknya, sangat sedikit koruptornya yang telah disidang atau dipenjara.

Akhirnya masyarakat merasa bahwa tetap menguntungkan menjadi pejabat korup walaupun tertangkap karena hukumannya beberapa tahun saja, seterusnya dia dapat hidup nyaman, apalagi jika tidak tertangkap bukan main beruntungnya.

Pemahaman masyarakat tentang korupsipun akhirnya ikut terdistorsi. Dari awalnya masyarakat menganggap perilaku korupsi itu sebagai pathology sosial, suatu penyimpangan, penyakit masyarakat, saat ini masyarakat merasa orang tidak mungkin eksis kalau terlalu jujur.

Perilaku korup itu menjadi suatu sosial behaviour (perilaku masyarakat/perilaku sosial). Ini misalnya dapat dilihat dari kalimat jujur dan cerdas, di mata masyarakat jujur saja itu salah, tetapi ketika jujur dan cerdas, maka itulah yang benar, karena menurut mereka jujur itu cenderung bermakna bodoh.

GNPK RI Jabar memandang, sebenarnya suatu pretensi tetapi dengan berdasarkan fakta. Pada kenyataanya adalah system di Indonesia seperti memberi celah mengharuskan orang untuk mendukung perilaku koruptif, manipulatif, dan permisif.

NS Hadiwinata selaku Ketua GNPK RI Jabar menekankan, perlu ada keteladanan dari Pemerintah.

“Sebagai penguasa, pemerintah harus bisa memimpin dengan bijak dalam membangun integritas nasional.” Tandas Nana.

“Berdasarkan pengalaman, GNPK RI Jabar menegaskan sekali lagi kepada pemerintah baik pusat maupun daerah bahwa pemberantasan korupsi, seharusnya dimulai dari pembangunan integritas pribadi dan berambah ke kolegial.” Ungkap Nana.

“Dengan demikian, semua menjadi komponen bangsa yang harus digerakan terus-menerus,” Pungkas Nana. (AR)

 164 total views,  2 views today

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here