Mengurai Epistemologi Labirin Korupsi

0

Mural yang mewakili suara masyarakat/ tumang.id

Jakarta Barat, tumang.id – Epidemi korupsi kita sudah stadium akut. Menjalar ke berbagai lapisan sosial. Tak terkecuali kaum muda, menjadi alarm keras bahwa masa depan bangsa ini cukup mengkhawatirkan.

Anak muda yang seharusnya menjadi aktor perubahan justru terpapar perilaku koruptif. Perlu langkah penyelamatan yang melibatkan berbagai komponen bangsa. Sehingga, perahu bernama Indonesia tak oleng dihantam badai korupsi.

Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember mengajak masyarakat dunia untuk memerangi kejahatan luar biasa tersebut.

Mengutip laman Anti Corruption Day, tema tahun ini menekankan bahwa pemulihan Covid-19 yang inklusif hanya dapat dicapai dengan integritas dan akuntabilitas.

Tema yang dipilih adalah “RECOVER WITH INTEGRITY: Mitigasi korupsi dan pemulihan Covid-19″.

Hal itu karena korupsi juga tumbuh subur di saat krisis dan pandemi global. Selama krisis kesehatan Covid-19, memerangi korupsi dapat menjadi pembeda antara hidup dan mati.

Di Indonesia, di bawah pelopor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peringatan hari anti korupsi 2020 mengusung tema besar *_”Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa ddalam Budaya Antikorupsi”._*

Tema ini sekaligus menegaskan bahwa tugas pemberantasan korupsi bukan hanya diemban KPK. Tapi menjadi tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat.

*_Potret Korupsi Di Indonesia_*

Silakan disimak sepak terjang elite kita yang kian hari makin kalap. Apalagi urusan yang dilakukan adalah (korupsi terhadap) bantuan untuk masyarakat terdampak pandemi saja nekat dijadikan bancakan.

Memang tak ada dikotomi wilayah korupsi. Mau korupsi urusan pemerintahan, yudisial, politik, ataupun agama, semuanya dikualifikasikan perbuatan nista.

Hanya saja, melihat peta perkembangan korupsi yang menjebol wilayah kemanusiaan ditengah pandemi Covid-19, kita bisa beranggapan betapa sifat rakus elite kita sudah melampaui batas.

Para elite mestinya berfikir jernih atas nasib bangsa ini. Meski bangsa kita tak lagi dijajah secara fisik, namun pembiakan korupsi sudah menjajah berbagai urusan pemerintahan.

Dalam satu adegan potret perilaku koruptif, masyarakat berkali-kali mengernyitkan dahi pertanda rasa tak percaya dan sedih.

*_Terkait predikat wajar tanpa pengecualian (WTP), tapi mengapa korupsi jalan terus?_*

Ada celah korupsi di sektor birokrasi Indonesia. Cara paling sederhana menutupnya, dengan transparansi dalam pengelolaan anggaran. Setiap kementerian dan lembaga juga pasti sudah menyadarinya.

Opini audit WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi idaman para pengelola keuangan negara.

Para pejabat kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah berlomba memperoleh opini tersebut.

Terlebih, pemerintah menjadikan opini WTP sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan tata kelola yang baik (good governance).

Untuk kepala daerah yang berlaga dalam pemilihan kepala daerah, opini WTP menjadi isu positif yang bisa dijual kepada masyarakat.

Masalahnya, opini WTP ternyata tidak menjamin bebas dari korupsi. Di beberapa lembaga yang memperoleh WTP, pejabatnya malah tersangkut korupsi.

Padahal, idealnya, untuk memperoleh status wajar tanpa pengecualian harus memenuhi beberapa kriteria, yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.

Karena itu, menjadi ironis ketika urusan penting soal penetapan indikator kewajaran pengelolaan keuangan negara yang seharusnya berpedoman pada kriteria tertentu justru jadi ladang bisnis memperkaya diri.

Padahal opini WTP menjadi pernyataan profesional yang disematkan BPK dan muaranya dapat mempengaruhi performa keuangan.

Hasil audit dari BPK menjadi referensi utama bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan anggaran negara.

Secara umum potret pembiakan korupsi bisa dilihat dari sudut tiga dimensi, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Seolah tak mau kalah di lembaga yudikatif juga menyumbang noktah hitam memperkaya diri dengan menerima suap.

Terbaru adalah jaksa Pinangki Sirna Malasari. Dia ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan suap terkait pelarian Djoko Tjandra.

Pinangki diduga menerima suap sebesar 500.000 dollar AS atau setara dengan Rp 7,4 miliar dan berperan dalam memuluskan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus Bank Bali itu.

Menyaksikan kondisi tiga cabang kekuasaan negara yang belum bersih dari perilaku koruptif tersebut, tentu memerlukan langkah bersama dari berbagai unsur.

Memberantas korupsi bukan hanya tugas KPK. Melainkan darma bagi semua elemen bangsa. Semua harus melakukan taubat nasional dan menyadari bahwa korupsi adalah penjajahan yang harus segera dihapuskan. Memeranginya adalah jihad di jalan Tuhan.

Persoalannya saat ini logika masyarakat tengah berupaya dijungkirbalikkan oleh sebagian elite. Kerja KPK dalam urusan operasi tangkap tangan, misalnya, disebut tidak efektif dan terkesan pencitraan.

Padahal OTT oleh KPK terbukti berhasil menyelamatkan uang negara dari garong berdasi. OTT secara psikologis juga memberikan efek rasa takut bagi pejabat lain untuk korupsi.

Selain itu mengentaskan tiga cabang kekuasaan negara dari labirin korupsi harus dimulai dari proses penegakan hukum yang serius dan menjerakan adalah penerapan hukuman mati kepada koruptor.

Sepanjang penjatuhan vonis tersebut berpegang pada prinsip keadilan, imparsialitas dan kejujuran dalam mengadili perkara. Karenanya semua pihak wajib menghormati putusan hakim.

Namun, pada saat bersamaan hakim tetap dituntut membangun sensitivitas dalam melihat korupsi sebagai persoalan utama bangsa. Sehingga putusan yang dijatuhkan mampu memenuhi dahaga keadilan masyarakat sebagai korban utama korupsi.

Artinya, keseriusan hakim melihat kegentingan korupsi sebagai penyakit luar biasa yang harus diberantas, akan berbanding lurus dengan judicial activism yang terpatri dalam setiap pertimbangan putusannya.

Perilaku kemaruk adalah persoalan mental yang buruk dan pendidikan karakter yang gagal. Akibatnya, anak muda yang seharusnya bangga diamanahi memegang obor idealisme, tapi karena porsi pendidikan karakternya minim, akhirnya justru dia sendiri yang memadamkan api antikorupsi.

Kaum terdidik tidak hanya dibekali keahlian dan kognisi, tapi juga karakter kuat yang mampu mewarnai sendi birokrasi pemerintahan menjadi lebih baik.

Ibarat labirin, korupsi menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit sekujur tubuh Indonesia. Sekalipun telah disuntikkan berbagai vaksin guna menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, hingga pengujung tahun 2020 belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang.

Karena itu, menghentikan laju praktik koruptif akan selalu jadi pekerjaan yang membutuhkan komitmen dan perjuangan panjang nan melelahkan.

*_Epistemologi Koruptor_*

Sebagai pejabat publik, peluang korupsi amatlah besar. Mereka bisa menggunakan posisinya untuk memperkaya diri, keluarga ataupun kerabatnya dengan menggunakan uang rakyat.

Pendek kata, mereka meraup keuntungan di atas penderitaan orang lain. Walaupun tahu akan hal ini, mereka tetap melakukan tindak korupsi. Pertanyaan kecil menggantung, mengapa?

Diperlukan sebuah kajian epistemologis tentang cara berpikir pelaku korupsi. Pelaku korupsi berpikir, bahwa kekayaan material adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup.

Mereka melekat pada kekayaan material yang dianggap sebagai salah satu sumber kebahagiaan terbesar.

Kelekatan ini membuahkan pertimbangan yang kabur, yang akhirnya mendorong tindakan yang tidak tepat, yakni yang merugikan orang lain.

Secara padat dapat dijelaskan, bahwa kelekatan selalu merupakan sumber petaka, baik bagi pribadi maupun bagi kehidupan bersama.

Para pelaku korupsi juga hidup dengan penolakan. Yang jelas, mereka menolak untuk hidup sederhana dan bersahaja.

Penolakan ini begitu kuat dan kejam, sampai mereka bersedia melakukan hal-hal mengerikan, guna menghindarinya. Namun, segala bentuk penolakan selalu memperkuat apa yang ditolaknya.

Para penolak keras tidak akan pernah bisa lepas dari apa yang ditolaknya. Koruptor tidak akan pernah lepas dari kemiskinan. Ia akan tetap merasa miskin, walaupun sejatinya sudah banyak uang dan harta. Ia akan tetap merasa kurang, bahkan ketika ia sudah memiliki seluruh dunia.

Korupsi tidak lagi menjadi tindak perorangan, tetapi menjadi budaya kelompok yang dilakukan secara bergerombol. Di dalam budaya semacam ini, sikap kritis yang sehat untuk mempertanyakan keadaan secara rasional dan sistematik mengalami mati suri.

Pada akhirnya segala produk hukum dalam bentuk undang-undang canggih untuk melawan korupsi akan sia-sia, jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang tepat tentang epistemologi koruptor. Ini seperti menebas rumput liar, tanpa pernah sungguh mencabut akarnya. (*)

 150 total views,  1 views today

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here